Dekapan Terakhir (cerpen)
Kandang Babi persis
di depan mata. Ya Kandang Babi adalah nama jurang sepanjang dua puluh lima
meter dengan kedalaman enam ratus meter. Ada dua cara menyeberangi jurang ini.
Yang pertama dengan teknik tyrolean traverse bergelayutan di tali dan
mendorong tubuh dengan kekuatan tangan. Cara yang kedua dengan memasang
pengaman di sling baja bagian kanan dan kiri lalu berjalan di atas jembatan
kawat tali.
Burma Bridge, nama jembatan ini, dipasang pada saat perayaan 17
Agustus 2015 oleh tim Vertical Limit yang dipimpin Tedy Ixdiana. Kini giliranku
melewati jembatan ini yang berada diketinggian 4000 mdpl lebih. Awalnya terasa
baik, namun di tengah jembatan angin kencang tiba-tiba datang, menggoyangkan
tubuhku. Bebatuan besar dan tajam terlihat di bawah sana yang siap menghatam
tubuhku jika jatuh. Sial, aku mulai kalut! “Don’t look down. Keep on
going, you can do it. Nara!” teriak Jesselyn pendaki asal Belanda yang
sudah lebih dulu menyebrangi jembatan ini. Kami bertemu saat di basecamp,
aku pikir sulit untuk bisa akrab dengan orang asing tapi diluar dugaan, kami
cepat akrab ia juga sangat ramah. Ia wanita yang cantik, berambut panjang
coklat, hidungnya mancung seperti kebanyakan wanita Eropa lainnya dan yang
paling aku suka mata coklatnya yang terlihat berkilau. Menatapnya, membuat hati
yang hilang arah seperti menemukan kompasnya.
“Ah, bodoh! Kenapa saat seperti ini aku malah memikirkan hal
seperti itu. Jesselyn terimakasih kau beri aku semangat,” gumamku dalam hati.
Angin kencang masih belum berhenti. Dengan tubuh yang bergoyang,
kulangkahkan kaki dengan ekstra hati-hati. Arrgghh! Pijakanku meleset, tubuhku
hilang keseimbangan. Aku jatuh!
Dering ponsel membangunkanku dengan kaget. Ah, ternyata hanya
mimpi, padahal sedikit lagi aku akan menginjakkan kaki di Cartenz Pyramid
puncak gunung tertinggi di Indonesia, Jaya Wijaya, Papua. Kuraih ponsel di
atas meja, Andre menghubungiku.
“Ya, aku disini,” ku jawab telepon dengan sedikit menguap.
“Astaga Nara! darimana saja kamu? Sudah empat kali aku hubungi.”
Seperti biasa ia orang yang tidak sabaran.
“Kamu mengganggu mimpiku, kalau kamu tidak menghubungiku
sedikit lagi kakiku memijak puncak Cartenz Pyramid.”
“Lupakan mimpimu itu. Aku butuh bantuanmu.”
Seperti biasa jika aku membicarakan tentang gunung, ia selalu
saja tidak peduli.
“Halah kamu ini, soal apa? Jangan yang aneh-aneh,” gerutuku.
“Coba kamu hubungi Rina. Tanyakan ada apa dengannya, akhir-akhir
ini sikapnya aneh.”
“Astaga, sudah kubilang jangan yang aneh-aneh,” gerutuku, lagi.
“Ayolah, Ra. Cuma kamu yang bisa kuandalkan. Nanti kuhubungi
lagi.”
Ttuuuuuttttttt....
Sial, seenaknya saja menutup telepon. Lagipula ada apa dengan
Rina? Kenapa harus aku yang menanyakannya. Ah, pagi-pagi sudah merepotkan.
“Rina?” Kuhubungi Rina melalui pesan singkat.
“Pasti Andre yang menyuruhmu, kan? Bilang saja kalau pesanmu tak
kubalas, aku sedang malas berurusan dengannya. Aku sedang ada masalah
dengannya. Please, Ra.”
Astaga! sepasang kekasih bertengkar tapi kenapa aku yang
kerepotan. Mereka berdua kawanku sejak SMA dan mereka juga sudah berpacaran
sejak SMA. Kebetulan kami kuliah di kampus yang sama.
Malam menunjukan pukul delapan dan Andre menelepon, ah bagaimana
ini aku dihadapkan pada dua pilihan Andre mengharapkan kabar baik dariku namun
Rina juga meminta bantuanku untuk bungkam.
“Bagaimana?”
“Ia tak membalas pesanku,” kuputuskan untuk berada dipihak
Rina.
“Ah dasar perempuan itu,” gerutunya.
“Ya, begitulah.”
“Eh iya, kalau besok malam kamu ada waktu luang kuajak menonton
konser band metal. Untukmu, tiket kuberi gratis.”
“Aku tidak bisa, maaf kawan.”
“Ah, kamu ini selalu saja menolak ajakanku. Baiklah. Thanks, Ra.”
Ia selalu memberi tiket konser musik band metal kesukaannya dan
aku selalu menolaknya. Dibanding musik metal, aku lebih suka mendengar suara
kodok atau jangkrik di atas gunung pada malam hari, lebih syahdu. Lagipula aku
harus berkemas untuk pergi ke gunung Prau besok, gunung adalah tempat terbaik
untuk mengisi libur kuliah seperti sekarang ini. Meski aku akan mendaki
sendirian aku tak pernah takut kesepian.
Barang-barangku sudah masuk dalam carrier dan kupastikan
tak ada yang tertinggal, kurebahkan tubuh di ranjang lebih cepat dari biasanya
agar cukup istirahat. Hampir saja aku terlelap tiba-tiba ponsel berdering.
Rina menelepon, ah paling ia hanya memastikan bahwa aku tidak bicara apapun
dengan kekasihnya itu.
“Iya, Rin. Sudah kukatakan seperti mau mu sore tadi.”
“Bagus, kamu memang bisa diandalkan,” tawanya geli.
“Kamu ini merepotkan, kalau tidak ada lagi kututup teleponnya.”
“Eh jangan dulu, aku mau ikut naik gunung Prau besok!” serunya.
“Hah! dari mana kamu tau aku akan berangkat besok?” Sontak
terkaget.
“Iya, bolehkan? Besok aku kerumahmu.”
Ttuuuuutttttt....
Astaga kerumitan macam apa lagi ini, ia akan ikut denganku
bagaimana jika Andre tau soal ini bisa-bisa leherku diikat olehnya. Ah,
mungkin saja ia hanya sedang bercanda. Tapi bagaimana jika itu benar. Aku harus
lakukan sesuatu, sebelum ia datang besok aku harus sudah pergi, cari saja
alasan kalau aku terburu-buru. Dengan begitu aku tak dapat masalah.
Keesokan harinya. Sebelum keluar kamar kupastikan barang
bawaanku tak ada yang tertinggal. Setelah menutup pintu kamar, sontak saja aku
kaget melihat Rina sedang berbincang dengan Ibuku di ruang tamu. Ia datang
lebih cepat dari perkiraanku. Ruang tamu adalah jalan satu satunya menuju pintu
keluar rumah, melompat jendela pun tak bisa aku lakukan karena mereka berdua
sudah melihatku, tak ada cara untuk melarikan diri, sial!
“Aku sudah siap!” serunya.
“Aku belum.”
“Belum siap masa sudah rapih begitu,” sahut Ibuku.
Astaga, kulangkahkan kaki menuju mereka kutarik tangan Rina dan
berbicara sedikit berbisik.
“Ini lelucon kan? Apa kamu serius ingin ikut denganku? Gimana
kalau Andre tau?” Kutatap baik-baik matanya seraya meyakinkan.
“Lihat saja barang bawaanku sudah seperti orang mau naik gunung,
kan? Soal Andre aku sudah tak ada hubungan lagi dengannya. Kamu tak perlu
khawatir, aku janji tak akan menyusahkanmu nanti.”
Jadi ini alasannya ia ikut denganku, aku rasa hatinya sedang
patah. Melarikan diri dari rasa sakit, menjadikan gunung sebagai obat penawar
rasa sakit. Aku rasa gunung tidak bisa menyelesaikan masalah. Namun ketika
di gunung semua masalah tak lagi berarti, menurutku. Apa yang kukatakan nantinya
ketika Andre tau kalau Rina ikut denganku. Aku takut pertemanan kami menjadi
rusak hanya karena perempuan ini. Aku tak mau dituduh sebagai penyebab hubungan
mereka hancur. Meski pada kenyataannya memang bukan aku penyebabnya.
Keesokan harinya kami sampai di basecamp gunung Prau,
Desa Patak Banteng, Wonosobo, Jawa Tengah. Sebelum mulai mendaki kami sarapan
terlebih dahulu hal ini harus dilakukan mengingat kami akan melakukan
aktivitas berat dan butuh energi banyak. Seberes sarapan, berhubung waktu
masih terlalu pagi kami bersantai sejenak dipelataran basecamp dan
memesan minuman hangat.
“Mas, mba ini kopi dan tehnya. Monggo.” Pemuda yang biasa
disapa Mas Jawir ini memberikan minuman yang kami pesan, ia juga penjaga basecamp
ini.
“Makasih mas, ini enggak ada pendaki lainnya mas?” Tanya Rina,
memang tak ada pendaki lain disini hanya Rina dan aku. Mungkin karena sekarang
ini bukan hari libur.
“Kayanya emang ndak ada. Cuma mba sama mas-nya aja, kalau
hari biasa emang sepi mba ndak kaya kemarin pas hari libur itu ramai
pendaki.”
“Kenapa? Takut ya kalau sepi kalau mau ramai kamu balik ke
Terminal Mendolo saja sana,” aku menyikut lengan Rina sembari tertawa.
“Ih, enak saja. Aku berani!” sahut Rina.
“Ndak apa-apa mba walau cuma berdua kan ada mas-nya yang
jagain yang penting jangan sampai terpisah, naik berdua turun juga harus
berdua. Yaudah saya tinggal dulu kebelakang saya doakan semoga lancar. Oh iya,
satu lagi jangan lupa sampahnya dibawa turun.”
“Siap, Mas!” seru kami berdua.
Sembari menikmati kopi, aku memberikan pengetahuan dasar tentang
mendaki pada Rina. Bagusnya, beberapa hal sudah ia ketahui dengan searching di
internet, ini menandakan bahwa ia memang niat mendaki. Karena ini pengalaman
pertamanya naik gunung. Aku rasa akan sedikit merepotkan mendampinginya tapi
tak apa setidaknya aku ada yang menemani dan tidak benar-benar sendirian di
dalam hutan.
Belum habis kopiku ponsel Rina berdering, kulirik layar
ponselnya tertera nama Andre tapi dihiraukan olehnya. Sudah tiga panggilan
dari Andre tapi tetap saja tak disentuh ponselnya.
“Angkat, ia ingin tau kabarmu,” pintaku.
“Biar saja! saat dirumahmu bukankah sudah kukatakan, bahwa aku
tak ada urusan lagi dengannya. Ayo bergegas sebelum terlalu siang,” sahutnya
dengan sedikit jengkel.
“Hhmmm... Baiklah,” aku menyerah.
Aku tak ingin berdebat dengannya apa lagi urusan hati lagipula
bukan urusanku. Aku yakin ia akan cerita nantinya saat pendakian atau malam
hari saat di tenda. Seberes merapikan barang bawaan di carrier dan
mengurus perijinan pendakian, kami bersiap mendaki. Perjalanan dari basecamp
sampai Pos 2 masih terbilang cukup mudah karena masih didominasi jalur
datar, dari raut wajahnya belum terlihat rasa lelah. Kami beristirahat sejenak
disini sembari memakan cemilan.
“Masih semangat kan? Perjalanan yang sesungguhnya akan dimulai
dari sini,” ujarku. Setelah Pos 2 memang perjalanan akan lebih sulit karena
jalur yang sedikit terjal dan menanjak dibanding jalur sebelumnya.
“Jangan meremehkanku! kamu pikir nyaliku menciut hanya karena
kamu bilang begitu!” sahutnya dengan meninju bahuku.
“Bagus! kalau nanti kamu banyak mengeluarkan keringat aku tidak
akan mengelapnya,” aku tertawa.
Perjalanan kami mulai kembali, lima puluh menit kami berjalan di
jalur yang sedikit terjal dan menanjak, kami pun sampai di Pos 3 dan nampaknya
ia mulai kelelahan. Namun, ia masih kuat dan yang aku salut ia belum mengeluh.
Nampaknya ia perempuan yang tangguh.
“Istirahat, Ra!” ia menyenderkan tubuhnya pada batang pohon.
“Sial, capek juga ya,” sambungnya.
“Jangan dulu patah semangat. Setelah Pos 3 ini perjalanan akan
lebih menanjak dan lebih miring. Namun, beberapa bagian jalur sudah ada ditata
rapi dengan batu yang berupa anak tangga.”
“Kamu paham betul ya, memangnya sudah berapa kali kamu kesini?”
Tanyanya dengan nafas yang tak karuan.
“Tiga kali. Dari sini kita akan menuju Bukit Teletubies atau
Sunrise Camp tempat untuk mendirikan tenda.”
“Berapa lama perjalanan?” Tanyanya lagi.
“Tak perlu kamu tau, nikmati saja perjalanannya,” timpalku
dengan tertawa.
“Sial!” sahutnya kesal.
Sudah banyak keringat membasahi tubuhnya. Entah kenapa wajahnya
yang berkeringat membuat ia semakin mempesona. Sepuluh menit kami beristirahat
dan melanjutkan perjalanan lagi. Jika terlalu lama beristirahat hawa dingin
akan semakin menusuk yang bisa membuat kami mengantuk.
Langkah Rina semakin lambat setelah kami meninggalkan Pos 3,
lebih banyak berhenti tidak seperti sebelumnya. Aku memakluminya karena ini
pertama kalinya ia berjalan lebih tinggi dengan membawa beban carrier yang
tidak bisa dibilang ringan. Setelah sembilan puluh menit akhirnya tiba di
Bukit Teletubies atau Sunrise Camp. Kabut tebal menyambut kedatangan kami,
jarak pandang pun terbatas, yang bisa kulihat hanya Rina dan pohon terdekat
selebihnya hanya kelabu, dinginnya pun terasa begitu menusuk. Aku berharap esok
pagi cuaca cerah agar perjuangan Rina untuk sampai disini terbayarkan, semoga.
“Ah, akhirnya sampai!” ia melepaskan carrier dipundaknya
yang sedari tadi ia gendong dan merebahkan dirinya di atas rumput. Dari raut
wajahnya ia merasa sangat senang. Kubiarkan ia beristirahat, sementara aku
mencari tempat yang aman untuk mendirikan tenda agar terlindung dari terpaan
angin, persis di bawah pohon. Belum selesai aku mendirikan tenda, tiba-tiba
Rina disampingku.
“Biar kubantu, Ra!”
“Aku engga yakin kamu bisa,” aku meledek.
“Yeh dasar. Kamu bilang aja aku harus apa.”
“Pijit aja pundakku,” sahutku.
“Ih, yang serius kenapa sih!” ketusnya.
“Bercanda kali, gitu aja cemberut,” kucolek dagunya itu.
“Nara!” ia berteriak.
“Rina!” aku juga berteriak tak mau kalah.
Kami saling pandang dan tertawa.
Ah, kalau diingat-ingat kapan terakhir kali ia tertawa karena
ulahku. Sebenarnya, zaman SMA dulu aku pernah menyukainya, mengagumi dalam diam.
Aku tak pernah menunjukkan perasaanku padanya dan aku rasa ia juga tak pernah
mengetahuinya.
Dulu kupikir asalkan masih bisa berada didekatnya aku baik-baik
saja. Namun, ternyata salah. Hatiku tak karuan ketika Andre yang juga kawanku
mulai mendekatinya, mencoba untuk mengambil hatinya. Sialnya, Andre berhasil,
mereka menjadi sepasang sedangkan hatiku berpulang.
Semenjak itu, hubungan pertemanan kami memang baik-baik saja.
Hanya saja, aku mulai menjaga jarak dengannya mencoba untuk mencari penawar
rasa sakit yang mulai merusak sistem sirkulasi dada sebelah kanan. Paru-paruku
terasa sesak melihat mereka bergandengan tangan setiap hari di sekolah.
Gunung Prau ini adalah gunung pertama yang kudaki. Gunung yang
dulu menjadi tempat pelarian dari rasa sakit. Gunung ini pun pernah menjadi
saksi, bahwa perasaan yang pernah kusimpan untuk Rina telah kubuang di sini,
ikhlas tanpa penyesalan.
Dan sekarang, di sini pula rasa itu seperti hadir kembali,
menyelinap melalui susunan tulang rusuk, mendobrak masuk sampai ke hati. Ya,
aku merasakannya, benar-benar merasakannya. Semesta tak membiarkan rasa yang
pernah kubuang di sini benar-benar hilang, ia mengembalikannya lagi padaku.
Setelah tenda berdiri kokoh, aku menyuruh Rina untuk masuk,
mengganti pakaiannya yang masih basah karena keringatnya. Lalu kami memasak
makanan yang kami bawa, Rina begitu terampil dalam memasak, kalau diibaratkan
ia adalah Chef nya dan aku asisten yang sedari tadi hanya membantunya.
Makanan yang kami masak pun terasa sangat nikmat, entah karena lapar atau
memang benar-benar enak. Tapi, kalaupun rasanya tidak enak aku akan tetap lahap
menghabiskannya, aku tak akan menyia-nyiakan hasil masakannya itu.
Hari sudah gelap ketika kami selesai makan. Kami tak langsung
tidur, aku menyeduh kopi dan coklat panas untuk Rina. Saling berbagi cerita
tentang apapun yang ada dipikiran kami, tentang kehidupan, nostalgia masa SMA
dulu atau menertawakan hal-hal yang tidak penting.
Suasana seperti inilah yang membuat aku suka bolak-balik naik
gunung. Suasana yang sulit didapatkan saat di kota, ketika canda tawa tak
sepura-pura saat di kota, ponsel tak mengganggu jalannya berbagi cerita dan
hal-hal lainnya.
“Ra, pantas saja kamu suka naik gunung. Suasana seperti ini
engga pernah aku dapatkan ketika di kota. Tapi engga mudah untuk bisa sampai
sini.”
“Dengan beban carrier yang kamu bawa dari basecamp sampai
sini, usaha kamu untuk tetap berjalan lebih tinggi tanpa menyerah dan
perjuangan lain yang menguras keringat akan dibayar lunas oleh semesta esok
hari. Saat mentari terbit kamu akan merasa bahwa perjuangan kamu tak akan mengkhianati.
Kamu akan melihat gulungan awan menyelimuti Gunung Sumbing dan Sindoro persis
dihadapan matamu. Meski dingin tetap saja menyerang tapi aku yakin kamu akan
menikmatinya. Percayalah!”
“Rasanya aku engga sabar menunggu saat pagi itu tiba,” ujarnya
dengan mata yang berbinar-binar.
“Berdoalah agar cuaca esok bagus dan semesta menunjukkan
keindahannya padamu.”
Setelah itu kami terdiam, hanya suara angin yang terdengar.
Rina memandang gelas yang sedang dipegangnya, tatapannya kosong. Aku rasa ia
memikirkan Andre. Ah, kenapa saat-saat seperti ini.
“Mau cerita? Aku tau kamu sedang memikirkannya,” aku mulai
menyinggungnya.
Ia hanya menoleh kearahku. Ia paham dengan yang kumaksud.
“Ceritakan saja, aku akan mendengarkanmu tanpa memotong. Aku
juga akan memberikan solusi, itu pun jika kamu minta,” sambungku.
Saat-saat seperti ini, perempuan hanya butuh didengar.
Memberikan pendapat untuk masalahnya tanpa diminta justru ia akan merasa
seperti sedang digurui.
“Sepertinya kamu tau betul jalan pikiranku. Heemm... Tapi,
sudahlah. Aku tak akan membahasnya, lagi pula aku sudah mengantuk. Aku ingin
segera terlelap dan menyambut esok pagi,” ujarnya dengan tersenyum.
“Baiklah, terserahmu saja,” aku menyerah dan tak ingin
membantah, padahal aku sangat penasaran.
Kami masuk ke dalam sleeping bag masing-masing, menarik
resletingnya hingga ujung. Terasa lebih hangat di dalam sini. Sebelum tidur
Rina berdoa dan berkata.
“Semoga semesta esok pagi tak mengkhianati.”
“Semoga semesta mengabulkan harapanmu,” aku melanjutkan.
Setelah itu kami terlelap, suara angin mengiringi kami agar
nyenyak dibunuh malam.
Pada tengah malam aku terbangun oleh suara Rina yang nampaknya
kedinginan, tubuhnya menggigil, napasnya tak beraturan, saat kupegang pipinya
terasa dingin. Sontak saja aku langsung melepaskan sleeping bag yang
menyelimuti tubuhku. Dilihat dari kondisinya, nampaknya ia terkena gejala
hipotermia.
Aku memasak air dan menyeduh coklat panas, dengan harapan suhu
tubuhnya kembali normal. Lalu, kududukkan posisinya yang semula berbaring.
“Pegang dulu gelasnya untuk menghangatkan telapak tanganmu,
setelah itu kamu minum,” ujarku sembari menyodorkan gelas berisi coklat panas
yang baru saja matang.
Tangannya gemetar memegang coklat panas ia tak kuasa menahan
dingin, lalu ia meminumnya dengan perlahan. Kurapihkan rambutnya yang
berantakan, keningnya dingin dan wajahnya pun pucat. Astaga, aku tak ingin
terjadi hal yang tidak kuinginkan pada Rina, membayangkannya saja pun aku
takut. Ya Tuhan, aku harap ia baik-baik saja.
“Maaf aku menyusahkanmu, Ra” ujarnya
“Tidak, Rin. Jangan berkata seperti itu,” balasku menatapnya.
Ia hanya tersenyum, lalu menghabiskan coklatnya. Berbaring
kembali, matanya mulai terpejam mencoba untuk melanjutkan tidurnya. Kulihat
tubuhnya tak lagi menggigil, syukurlah. Aku bisa sedikit lega dan membaringkan
tubuhku. Namun, ia belum bisa tidur. Aku terus memandanginya. Tak lama ia
berkata.
“Aku masih kedinginan, Ra!”
Belum sempat aku membalas perkataannya, ia beranjak dari
tidurnya, melepaskan sleeping bag nya.
“Kenapa dilepas, Rin? Nanti kamu tambah kedinginan.”
Tanpa menghiraukan perkataanku, ia mendekat kearahku. Menurunkan
resleting sleeping bag milikku, lalu masuk kedalam sleeping bag.
Kini, kami berdua berada di satu sleeping bag yang sama.
“Kontak langsung adalah cara terbaik untuk menghangatkan
tubuhku yang kedinginan,” ujarnya.
Ia mendekapku, jantungku berdegup kencang tak karuan. Napasnya
masih tak beraturan, napasku terasa sesak masih tak percaya ia melakukan hal
yang tak kuduga seperti ini. Memang benar dengan melakukan kontak fisik dengan
orang yang sedang kedinginan adalah cara tercepat untuk membuat suhu tubuh
orang tersebut kembali normal.
Satu jam aku tak bisa tidur, sementara Rina sudah tertidur.
Napasnya sudah teratur kembali tak seperti tadi, perlahan aku bisa merasakan
hangat tubuhnya, syukurlah suhu tubuhnya sudah normal. Aku merasa lega, terimakasih
Tuhan. Tanpa sadar akupun terlelap.
Waktu aku terbangun malam telah berganti, aku mengerjap-ngerjapkan
mataku, kulihat bias cahaya mentari di atap tenda. Kupanggil Rina yang masih
tidur sambil memelukku.
“Rin, bangun. Sudah pagi, ayo kita keluar tenda,” ia tidak
menjawab.
“Hey, ayo bangun. Semesta sudah menyambut kita.”
Ia masih tidak menjawab. Aneh, aku tak lagi merasakan hangatnya
tubuh Rina.
“Rin, Rin, Rina!”
Kugoyangkan kepalanya, lagi-lagi tidak menjawab.
Aku mulai panik. Kulepaskan dekapannya, lalu kubaringkan
perlahan tubuhnya ke samping. Kugoncang-goncangkan tubuhnya.
“Rin, Rin, Rina!”
Kutempelkan tanganku dikeningnya, dingin. Beralih ke leher, tak
terasa apa-apa. Dengan takut kutempelkan jariku ke hidungnya, astaga napasnya
tak terasa. Aku semakin panik! Kupegang pergelangan tangannya, tak terasa detak
nadinya. Kutempelkan telingaku didadanya, tak kurasakan detak jantungnya.
“Rina! Rina! kamu kenapa, Rin? Please bangun Rin! Rina!”
Aku keluar tenda, berharap ada
seseorang untuk meminta pertolongan. Kulihat sekeliling tak ada seorang pun.
Aku bingung, marah, sedih, takut! kutatap langit yang begitu cerah, tapi yang
kurasakan hanya kelabu. Aku duduk diatas rumput, memandang kearah tenda, air
mataku menetes. Apa yang harus kulakukan!
Karya: Erfin Suprapto
Comments
Post a Comment