Dekapan Terakhir (cerpen)


Kandang Babi persis di depan mata. Ya Kandang Babi adalah nama jurang sepanjang dua puluh lima meter dengan kedalaman enam ratus meter. Ada dua cara menyeberangi jurang ini. Yang per­tama dengan teknik tyrolean traverse bergelayutan di tali dan mendorong tubuh dengan kekuatan tangan. Cara yang kedua dengan memasang pengaman di sling baja bagian kanan dan kiri lalu berjalan di atas jembatan kawat tali.
Burma Bridge, nama jembatan ini, dipasang pada saat per­ayaan 17 Agustus 2015 oleh tim Vertical Limit yang dipimpin Tedy Ixdiana. Kini giliranku melewati jembatan ini yang bera­da diketinggian 4000 mdpl lebih. Awalnya terasa baik, namun di tengah jembatan angin kencang tiba-tiba datang, menggoy­angkan tubuhku. Bebatuan besar dan tajam terlihat di bawah sana yang siap menghatam tubuhku jika jatuh. Sial, aku mulai kalut! “Don’t look down. Keep on going, you can do it. Nara!” teriak Jesselyn pendaki asal Belanda yang sudah lebih dulu menyebrangi jembatan ini. Kami bertemu saat di basecamp, aku pikir sulit untuk bisa akrab dengan orang asing tapi diluar dugaan, kami cepat akrab ia juga sangat ramah. Ia wanita yang cantik, berambut panjang coklat, hidungnya mancung seperti kebanyakan wanita Eropa lainnya dan yang paling aku suka mata coklatnya yang terlihat berkilau. Menatapnya, membuat hati yang hilang arah seperti menemukan kompasnya.
“Ah, bodoh! Kenapa saat seperti ini aku malah memikirkan hal seperti itu. Jesselyn terimakasih kau beri aku semangat,” gumamku dalam hati.
Angin kencang masih belum berhenti. Dengan tubuh yang bergoyang, kulangkahkan kaki dengan ekstra hati-hati. Arrg­ghh! Pijakanku meleset, tubuhku hilang keseimbangan. Aku jatuh!

Dering ponsel membangunkanku dengan kaget. Ah, terny­ata hanya mimpi, padahal sedikit lagi aku akan menginjakkan kaki di Cartenz Pyramid puncak gunung tertinggi di Indo­nesia, Jaya Wijaya, Papua. Kuraih ponsel di atas meja, Andre menghubungiku.
“Ya, aku disini,” ku jawab telepon dengan sedikit menguap.
“Astaga Nara! darimana saja kamu? Sudah empat kali aku hubungi.” Seperti biasa ia orang yang tidak sabaran.
“Kamu mengganggu mimpiku, kalau kamu tidak meng­hubungiku sedikit lagi kakiku memijak puncak Cartenz Pyra­mid.”
“Lupakan mimpimu itu. Aku butuh bantuanmu.”
Seperti biasa jika aku membicarakan tentang gunung, ia se­lalu saja tidak peduli.
“Halah kamu ini, soal apa? Jangan yang aneh-aneh,” geru­tuku.
“Coba kamu hubungi Rina. Tanyakan ada apa dengannya, akhir-akhir ini sikapnya aneh.”
“Astaga, sudah kubilang jangan yang aneh-aneh,” gerutuku, lagi.
“Ayolah, Ra. Cuma kamu yang bisa kuandalkan. Nanti kuhubungi lagi.”
Ttuuuuuttttttt....
Sial, seenaknya saja menutup telepon. Lagipula ada apa dengan Rina? Kenapa harus aku yang menanyakannya. Ah, pagi-pagi sudah merepotkan.
“Rina?” Kuhubungi Rina melalui pesan singkat.
“Pasti Andre yang menyuruhmu, kan? Bilang saja kalau pesanmu tak kubalas, aku sedang malas berurusan dengan­nya. Aku sedang ada masalah dengannya. Please, Ra.”
Astaga! sepasang kekasih bertengkar tapi kenapa aku yang kerepotan. Mereka berdua kawanku sejak SMA dan mereka juga sudah berpacaran sejak SMA. Kebetulan kami kuliah di­ kampus yang sama.
Malam menunjukan pukul delapan dan Andre menelepon, ah bagaimana ini aku dihadapkan pada dua pilihan Andre mengharapkan kabar baik dariku namun Rina juga meminta bantuanku untuk bungkam.

“Bagaimana?”
“Ia tak membalas pesanku,” kuputuskan untuk berada dipi­hak Rina.
“Ah dasar perempuan itu,” gerutunya.
“Ya, begitulah.”
“Eh iya, kalau besok malam kamu ada waktu luang kuajak menonton konser band metal. Untukmu, tiket kuberi gratis.”
“Aku tidak bisa, maaf kawan.”
“Ah, kamu ini selalu saja menolak ajakanku. Baiklah. Thanks, Ra.”
Ia selalu memberi tiket konser musik band metal kesu­kaannya dan aku selalu menolaknya. Dibanding musik metal, aku lebih suka mendengar suara kodok atau jangkrik di atas gunung pada malam hari, lebih syahdu. Lagipula aku harus berkemas untuk pergi ke gunung Prau besok, gunung adalah tempat terbaik untuk mengisi libur kuliah seperti sekarang ini. Meski aku akan mendaki sendirian aku tak pernah takut kes­epian.

Barang-barangku sudah masuk dalam carrier dan kupasti­kan tak ada yang tertinggal, kurebahkan tubuh di ranjang lebih cepat dari biasanya agar cukup istirahat. Hampir saja aku ter­lelap tiba-tiba ponsel berdering. Rina menelepon, ah paling ia hanya memastikan bahwa aku tidak bicara apapun dengan kekasihnya itu.
“Iya, Rin. Sudah kukatakan seperti mau mu sore tadi.”
“Bagus, kamu memang bisa diandalkan,” tawanya geli.
“Kamu ini merepotkan, kalau tidak ada lagi kututup tel­eponnya.”
“Eh jangan dulu, aku mau ikut naik gunung Prau besok!” serunya.
“Hah! dari mana kamu tau aku akan berangkat besok?” Sontak terkaget.
“Iya, bolehkan? Besok aku kerumahmu.”
Ttuuuuutttttt....
Astaga kerumitan macam apa lagi ini, ia akan ikut den­ganku bagaimana jika Andre tau soal ini bisa-bisa leherku dii­kat olehnya. Ah, mungkin saja ia hanya sedang bercanda. Tapi bagaimana jika itu benar. Aku harus lakukan sesuatu, sebelum ia datang besok aku harus sudah pergi, cari saja alasan kalau aku terburu-buru. Dengan begitu aku tak dapat masalah.

Keesokan harinya. Sebelum keluar kamar kupastikan ba­rang bawaanku tak ada yang tertinggal. Setelah menutup pin­tu kamar, sontak saja aku kaget melihat Rina sedang berbin­cang dengan Ibuku di ruang tamu. Ia datang lebih cepat dari perkiraanku. Ruang tamu adalah jalan satu satunya menuju pintu keluar rumah, melompat jendela pun tak bisa aku laku­kan karena mereka berdua sudah melihatku, tak ada cara un­tuk melarikan diri, sial!
“Aku sudah siap!” serunya.
“Aku belum.”
“Belum siap masa sudah rapih begitu,” sahut Ibuku.
Astaga, kulangkahkan kaki menuju mereka kutarik tangan Rina dan berbicara sedikit berbisik.
“Ini lelucon kan? Apa kamu serius ingin ikut denganku? Gimana kalau Andre tau?” Kutatap baik-baik matanya seraya meyakinkan.
“Lihat saja barang bawaanku sudah seperti orang mau naik gunung, kan? Soal Andre aku sudah tak ada hubungan lagi dengannya. Kamu tak perlu khawatir, aku janji tak akan me­nyusahkanmu nanti.”
Jadi ini alasannya ia ikut denganku, aku rasa hatinya sedang patah. Melarikan diri dari rasa sakit, menjadikan gunung se­bagai obat penawar rasa sakit. Aku rasa gunung tidak bisa me­nyelesaikan masalah. Namun ketika di gunung semua masalah tak lagi berarti, menurutku. Apa yang kukatakan nantinya ketika Andre tau kalau Rina ikut denganku. Aku takut perte­manan kami menjadi rusak hanya karena perempuan ini. Aku tak mau dituduh sebagai penyebab hubungan mereka hancur. Meski pada kenyataannya memang bukan aku penyebabnya.

Keesokan harinya kami sampai di basecamp gunung Prau, Desa Patak Banteng, Wonosobo, Jawa Tengah. Sebelum mulai mendaki kami sarapan terlebih dahulu hal ini harus dilaku­kan mengingat kami akan melakukan aktivitas berat dan bu­tuh energi banyak. Seberes sarapan, berhubung waktu masih terlalu pagi kami bersantai sejenak dipelataran basecamp dan memesan minuman hangat.
“Mas, mba ini kopi dan tehnya. Monggo.” Pemuda yang biasa disapa Mas Jawir ini memberikan minuman yang kami pesan, ia juga penjaga basecamp ini.
“Makasih mas, ini enggak ada pendaki lainnya mas?” Tan­ya Rina, memang tak ada pendaki lain disini hanya Rina dan aku. Mungkin karena sekarang ini bukan hari libur.
“Kayanya emang ndak ada. Cuma mba sama mas-nya aja, kalau hari biasa emang sepi mba ndak kaya kemarin pas hari libur itu ramai pendaki.”
“Kenapa? Takut ya kalau sepi kalau mau ramai kamu balik ke Terminal Mendolo saja sana,” aku menyikut lengan Rina sembari tertawa.
“Ih, enak saja. Aku berani!” sahut Rina.
Ndak apa-apa mba walau cuma berdua kan ada mas-nya yang jagain yang penting jangan sampai terpisah, naik berdua turun juga harus berdua. Yaudah saya tinggal dulu kebela­kang saya doakan semoga lancar. Oh iya, satu lagi jangan lupa sampahnya dibawa turun.”
“Siap, Mas!” seru kami berdua.
Sembari menikmati kopi, aku memberikan pengetahuan dasar tentang mendaki pada Rina. Bagusnya, beberapa hal sudah ia ketahui dengan searching di internet, ini menanda­kan bahwa ia memang niat mendaki. Karena ini pengalaman pertamanya naik gunung. Aku rasa akan sedikit merepot­kan mendampinginya tapi tak apa setidaknya aku ada yang menemani dan tidak benar-benar sendirian di dalam hutan.

Belum habis kopiku ponsel Rina berdering, kulirik layar ponselnya tertera nama Andre tapi dihiraukan olehnya. Su­dah tiga panggilan dari Andre tapi tetap saja tak disentuh pon­selnya.
“Angkat, ia ingin tau kabarmu,” pintaku.
“Biar saja! saat dirumahmu bukankah sudah kukatakan, bahwa aku tak ada urusan lagi dengannya. Ayo bergegas sebe­lum terlalu siang,” sahutnya dengan sedikit jengkel.
“Hhmmm... Baiklah,” aku menyerah.
Aku tak ingin berdebat dengannya apa lagi urusan hati la­gipula bukan urusanku. Aku yakin ia akan cerita nantinya saat pendakian atau malam hari saat di tenda. Seberes merapikan barang bawaan di carrier dan mengurus perijinan pendakian, kami bersiap mendaki. Perjalanan dari basecamp sampai Pos 2 masih terbilang cukup mudah karena masih didominasi jalur datar, dari raut wajahnya belum terlihat rasa lelah. Kami beri­stirahat sejenak disini sembari memakan cemilan.
“Masih semangat kan? Perjalanan yang sesungguhnya akan dimulai dari sini,” ujarku. Setelah Pos 2 memang perjalanan akan lebih sulit karena jalur yang sedikit terjal dan menanjak dibanding jalur sebelumnya.
“Jangan meremehkanku! kamu pikir nyaliku menciut han­ya karena kamu bilang begitu!” sahutnya dengan meninju ba­huku.
“Bagus! kalau nanti kamu banyak mengeluarkan keringat aku tidak akan mengelapnya,” aku tertawa.
Perjalanan kami mulai kembali, lima puluh menit kami berjalan di jalur yang sedikit terjal dan menanjak, kami pun sampai di Pos 3 dan nampaknya ia mulai kelelahan. Namun, ia masih kuat dan yang aku salut ia belum mengeluh. Nampa­knya ia perempuan yang tangguh.
“Istirahat, Ra!” ia menyenderkan tubuhnya pada batang pohon.
“Sial, capek juga ya,” sambungnya.
“Jangan dulu patah semangat. Setelah Pos 3 ini perjalanan akan lebih menanjak dan lebih miring. Namun, beberapa ba­gian jalur sudah ada ditata rapi dengan batu yang berupa anak tangga.”
“Kamu paham betul ya, memangnya sudah berapa kali kamu kesini?” Tanyanya dengan nafas yang tak karuan.
“Tiga kali. Dari sini kita akan menuju Bukit Teletubies atau Sunrise Camp tempat untuk mendirikan tenda.”
“Berapa lama perjalanan?” Tanyanya lagi.
“Tak perlu kamu tau, nikmati saja perjalanannya,” timpalku dengan tertawa.
“Sial!” sahutnya kesal.
Sudah banyak keringat membasahi tubuhnya. Entah kena­pa wajahnya yang berkeringat membuat ia semakin mempe­sona. Sepuluh menit kami beristirahat dan melanjutkan per­jalanan lagi. Jika terlalu lama beristirahat hawa dingin akan semakin menusuk yang bisa membuat kami mengantuk.
Langkah Rina semakin lambat setelah kami meninggalkan Pos 3, lebih banyak berhenti tidak seperti sebelumnya. Aku memakluminya karena ini pertama kalinya ia berjalan lebih tinggi dengan membawa beban carrier yang tidak bisa dibi­lang ringan. Setelah sembilan puluh menit akhirnya tiba di Bukit Teletubies atau Sunrise Camp. Kabut tebal menyambut kedatangan kami, jarak pandang pun terbatas, yang bisa kuli­hat hanya Rina dan pohon terdekat selebihnya hanya kelabu, dinginnya pun terasa begitu menusuk. Aku berharap esok pagi cuaca cerah agar perjuangan Rina untuk sampai disini terbayarkan, semoga.

“Ah, akhirnya sampai!” ia melepaskan carrier dipundaknya yang sedari tadi ia gendong dan merebahkan dirinya di atas rumput. Dari raut wajahnya ia merasa sangat senang. Kubiar­kan ia beristirahat, sementara aku mencari tempat yang aman untuk mendirikan tenda agar terlindung dari terpaan angin, persis di bawah pohon. Belum selesai aku mendirikan tenda, tiba-tiba Rina disampingku.
“Biar kubantu, Ra!”
“Aku engga yakin kamu bisa,” aku meledek.
“Yeh dasar. Kamu bilang aja aku harus apa.”
“Pijit aja pundakku,” sahutku.
“Ih, yang serius kenapa sih!” ketusnya.
“Bercanda kali, gitu aja cemberut,” kucolek dagunya itu.
“Nara!” ia berteriak.
“Rina!” aku juga berteriak tak mau kalah.
Kami saling pandang dan tertawa.
Ah, kalau diingat-ingat kapan terakhir kali ia tertawa ka­rena ulahku. Sebenarnya, zaman SMA dulu aku pernah me­nyukainya, mengagumi dalam diam. Aku tak pernah menun­jukkan perasaanku padanya dan aku rasa ia juga tak pernah mengetahuinya.
Dulu kupikir asalkan masih bisa berada didekatnya aku baik-baik saja. Namun, ternyata salah. Hatiku tak karuan ke­tika Andre yang juga kawanku mulai mendekatinya, mencoba untuk mengambil hatinya. Sialnya, Andre berhasil, mereka menjadi sepasang sedangkan hatiku berpulang.
Semenjak itu, hubungan pertemanan kami memang baik-baik saja. Hanya saja, aku mulai menjaga jarak dengannya mencoba untuk mencari penawar rasa sakit yang mulai meru­sak sistem sirkulasi dada sebelah kanan. Paru-paruku terasa sesak melihat mereka bergandengan tangan setiap hari di se­kolah.
Gunung Prau ini adalah gunung pertama yang kudaki. Gu­nung yang dulu menjadi tempat pelarian dari rasa sakit. Gu­nung ini pun pernah menjadi saksi, bahwa perasaan yang per­nah kusimpan untuk Rina telah kubuang di sini, ikhlas tanpa penyesalan.
Dan sekarang, di sini pula rasa itu seperti hadir kembali, menyelinap melalui susunan tulang rusuk, mendobrak masuk sampai ke hati. Ya, aku merasakannya, benar-benar merasa­kannya. Semesta tak membiarkan rasa yang pernah kubuang di sini benar-benar hilang, ia mengembalikannya lagi padaku.

Setelah tenda berdiri kokoh, aku menyuruh Rina untuk masuk, mengganti pakaiannya yang masih basah karena ker­ingatnya. Lalu kami memasak makanan yang kami bawa, Rina begitu terampil dalam memasak, kalau diibaratkan ia adalah Chef nya dan aku asisten yang sedari tadi hanya membantunya. Makanan yang kami masak pun terasa sangat nikmat, entah karena lapar atau memang benar-benar enak. Tapi, kalaupun rasanya tidak enak aku akan tetap lahap menghabiskannya, aku tak akan menyia-nyiakan hasil masakannya itu.
Hari sudah gelap ketika kami selesai makan. Kami tak lang­sung tidur, aku menyeduh kopi dan coklat panas untuk Rina. Saling berbagi cerita tentang apapun yang ada dipikiran kami, tentang kehidupan, nostalgia masa SMA dulu atau menerta­wakan hal-hal yang tidak penting.
Suasana seperti inilah yang membuat aku suka bolak-balik naik gunung. Suasana yang sulit didapatkan saat di kota, ke­tika canda tawa tak sepura-pura saat di kota, ponsel tak meng­ganggu jalannya berbagi cerita dan hal-hal lainnya.
“Ra, pantas saja kamu suka naik gunung. Suasana seperti ini engga pernah aku dapatkan ketika di kota. Tapi engga mu­dah untuk bisa sampai sini.”
“Dengan beban carrier yang kamu bawa dari basecamp sampai sini, usaha kamu untuk tetap berjalan lebih tinggi tanpa menyerah dan perjuangan lain yang menguras keringat akan dibayar lunas oleh semesta esok hari. Saat mentari terbit kamu akan merasa bahwa perjuangan kamu tak akan meng­khianati. Kamu akan melihat gulungan awan menyelimuti Gunung Sumbing dan Sindoro persis dihadapan matamu. Meski dingin tetap saja menyerang tapi aku yakin kamu akan menikmatinya. Percayalah!”
“Rasanya aku engga sabar menunggu saat pagi itu tiba,” ujarnya dengan mata yang berbinar-binar.
“Berdoalah agar cuaca esok bagus dan semesta menunjuk­kan keindahannya padamu.”
Setelah itu kami terdiam, hanya suara angin yang terden­gar. Rina memandang gelas yang sedang dipegangnya, tata­pannya kosong. Aku rasa ia memikirkan Andre. Ah, kenapa saat-saat seperti ini.
“Mau cerita? Aku tau kamu sedang memikirkannya,” aku mulai menyinggungnya.
Ia hanya menoleh kearahku. Ia paham dengan yang ku­maksud.
“Ceritakan saja, aku akan mendengarkanmu tanpa memo­tong. Aku juga akan memberikan solusi, itu pun jika kamu minta,” sambungku.
Saat-saat seperti ini, perempuan hanya butuh didengar. Memberikan pendapat untuk masalahnya tanpa diminta jus­tru ia akan merasa seperti sedang digurui.
“Sepertinya kamu tau betul jalan pikiranku. Heemm... Tapi, sudahlah. Aku tak akan membahasnya, lagi pula aku sudah mengantuk. Aku ingin segera terlelap dan menyambut esok pagi,” ujarnya dengan tersenyum.
“Baiklah, terserahmu saja,” aku menyerah dan tak ingin membantah, padahal aku sangat penasaran.
Kami masuk ke dalam sleeping bag masing-masing, me­narik resletingnya hingga ujung. Terasa lebih hangat di dalam sini. Sebelum tidur Rina berdoa dan berkata.
“Semoga semesta esok pagi tak mengkhianati.”
“Semoga semesta mengabulkan harapanmu,” aku melan­jutkan.

Setelah itu kami terlelap, suara angin mengiringi kami agar nyenyak dibunuh malam.
Pada tengah malam aku terbangun oleh suara Rina yang nampaknya kedinginan, tubuhnya menggigil, napasnya tak beraturan, saat kupegang pipinya terasa dingin. Sontak saja aku langsung melepaskan sleeping bag yang menyelimuti tu­buhku. Dilihat dari kondisinya, nampaknya ia terkena gejala hipotermia.
Aku memasak air dan menyeduh coklat panas, dengan harapan suhu tubuhnya kembali normal. Lalu, kududukkan posisinya yang semula berbaring.
“Pegang dulu gelasnya untuk menghangatkan telapak tan­ganmu, setelah itu kamu minum,” ujarku sembari menyodor­kan gelas berisi coklat panas yang baru saja matang.
Tangannya gemetar memegang coklat panas ia tak kuasa menahan dingin, lalu ia meminumnya dengan perlahan. Kurapihkan rambutnya yang berantakan, keningnya dingin dan wajahnya pun pucat. Astaga, aku tak ingin terjadi hal yang tidak kuinginkan pada Rina, membayangkannya saja pun aku takut. Ya Tuhan, aku harap ia baik-baik saja.
“Maaf aku menyusahkanmu, Ra” ujarnya
“Tidak, Rin. Jangan berkata seperti itu,” balasku menatapn­ya.
Ia hanya tersenyum, lalu menghabiskan coklatnya. Berbar­ing kembali, matanya mulai terpejam mencoba untuk mel­anjutkan tidurnya. Kulihat tubuhnya tak lagi menggigil, sy­ukurlah. Aku bisa sedikit lega dan membaringkan tubuhku. Namun, ia belum bisa tidur. Aku terus memandanginya. Tak lama ia berkata.
“Aku masih kedinginan, Ra!”
Belum sempat aku membalas perkataannya, ia beranjak dari tidurnya, melepaskan sleeping bag nya.
“Kenapa dilepas, Rin? Nanti kamu tambah kedinginan.”
Tanpa menghiraukan perkataanku, ia mendekat kearahku. Menurunkan resleting sleeping bag milikku, lalu masuk ke­dalam sleeping bag. Kini, kami berdua berada di satu sleeping bag yang sama.
“Kontak langsung adalah cara terbaik untuk menghangat­kan tubuhku yang kedinginan,” ujarnya.
Ia mendekapku, jantungku berdegup kencang tak karuan. Napasnya masih tak beraturan, napasku terasa sesak masih tak percaya ia melakukan hal yang tak kuduga seperti ini. Memang benar dengan melakukan kontak fisik dengan orang yang sedang kedinginan adalah cara tercepat untuk membuat suhu tubuh orang tersebut kembali normal.
Satu jam aku tak bisa tidur, sementara Rina sudah tertidur. Napasnya sudah teratur kembali tak seperti tadi, perlahan aku bisa merasakan hangat tubuhnya, syukurlah suhu tubuhnya sudah normal. Aku merasa lega, terimakasih Tuhan. Tanpa sadar akupun terlelap.

Waktu aku terbangun malam telah berganti, aku menger­jap-ngerjapkan mataku, kulihat bias cahaya mentari di atap tenda. Kupanggil Rina yang masih tidur sambil memelukku.
“Rin, bangun. Sudah pagi, ayo kita keluar tenda,” ia tidak menjawab.
“Hey, ayo bangun. Semesta sudah menyambut kita.”
Ia masih tidak menjawab. Aneh, aku tak lagi merasakan hangatnya tubuh Rina.
“Rin, Rin, Rina!”
Kugoyangkan kepalanya, lagi-lagi tidak menjawab.
Aku mulai panik. Kulepaskan dekapannya, lalu kubaring­kan perlahan tubuhnya ke samping. Kugoncang-goncangkan tubuhnya.
“Rin, Rin, Rina!”
Kutempelkan tanganku dikeningnya, dingin. Beralih ke le­her, tak terasa apa-apa. Dengan takut kutempelkan jariku ke hidungnya, astaga napasnya tak terasa. Aku semakin panik! Kupegang pergelangan tangannya, tak terasa detak nadinya. Kutempelkan telingaku didadanya, tak kurasakan detak jan­tungnya.
“Rina! Rina! kamu kenapa, Rin? Please bangun Rin! Rina!”
Aku keluar tenda, berharap ada seseorang untuk meminta pertolongan. Kulihat sekeliling tak ada seorang pun. Aku bin­gung, marah, sedih, takut! kutatap langit yang begitu cerah, tapi yang kurasakan hanya kelabu. Aku duduk diatas rumput, memandang kearah tenda, air mataku menetes. Apa yang harus kulakukan!



Karya: Erfin Suprapto

Comments

Popular posts from this blog

ANALISIS KAJIAN SENI PERTUNJUKAN PENDEKATAN EKSPRESIF DALAM DRAMA TEATER KOMA "WABAH"

Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya (Buku Karya Wiyatmi)

ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP NOVEL “GITANJALI” KARYA FEBRIALDI. R