PATAH


Menyesap udara pagi takkan pernah sesesak ini bila kau tetap disini

Langkah kaki takkan pernah kehilangan arah andai saja kau masih menjadi kompasku

Perlahan, langkah terasa bimbang

Jejakmu semakin samar dipeluk kabut yang menghalang


Masihkah kau ingat? Dulu pernah kita bayangkan hidup dalam satu rumah sederhana dengan halaman ditumbuhi bunga-bunga, bajumu dan bajuku terjemur dalam tali gantungan yang sama

Kita juga pernah berdebat tentang nama anak pertama, warna cat rumah, motif tirai jendela, letak tempat tidur, susunan rak buku 1dan semua hal yang kini mustahil untuk jadi nyata


Masih ku ingat pertemuan terakhir sebelum kau putuskan pergi

Sebagai permulaan kau pasang senyum sedemikian manis dan sorot mata tajam menghias wajahmu

Sebuah perpaduan sempurna yang siap menikam inti jantungku

Kau proklamasikan perpisahan sebagai pembuka jalan untuk meninggalkanku

Menumbangkan rencana-rencana yang kita janjikan, mengubur paksa dengan tumpukan kecewa

Mendoakan agar kita bahagia walau dengan jalan yang berbeda


Langit biru selalu kutatap dengan perasaan haru, tak sekalipun kutemukan harapan baru

Awan putih menjelma sekumpulan keputusasaan

Tak ada lagi pelangi, tak ada lagi warnamu yang bisa kunikmati

Kelam menyulam kehampaan

Menusuk dan menyilang, kau buat pola kusut tak beraturan

Menjadikan pakaian dengan jahitan penuh nestapa


Semburat jingga berkencan dengan nostalgia

Menghadirkan bayangmu, menjamah dan menyiksa

Merangkai kenang yang seharusnya binasa


Mencekam tanpa perlawanan

Kau buat karya seni paling getir tak tertahankan

Tak ada lagi dari kita yang bisa diselamatkan


Hari hari seolah begitu hambar tak ada rasa yang dapat menghidupkan jiwa

Karena sejauh apapun melangkah mencari makna kehilangan, percuma

Tak kutemukan sebuah ke ikhlasan

Tak berdaya, meronta seluruh jiwa mencaci takdir yang sulit diterima logika


Apa kabar?

Lantunan doa kupanjatkan agar kau selalu dalam keadaan baik, bahagia dan tak tersesat dengan jalan yang kau pilih

Kabarku?

Tak perlu kau tahu, tanyakan pada hatimu bagaimana mungkin aku bisa dalam keadaan baik setelah menerima undangan yang telah kau sebar

Belum kudapatkan penawar rasa sakit dari setiap nelangsa yang kuderita

Kau beri lagi ekstra patah hati tiada tara

Menyaksikanmu yang akan duduk di singgasana paling meriah

Saat kata sah telah diucap tamu undangan

Aku mengaku kalah, terimalah kau pantas mendapat piala pengkhianatan

Comments

Popular posts from this blog

ANALISIS KAJIAN SENI PERTUNJUKAN PENDEKATAN EKSPRESIF DALAM DRAMA TEATER KOMA "WABAH"

Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya (Buku Karya Wiyatmi)

ANALISIS PRAGMATIK TERHADAP NOVEL “GITANJALI” KARYA FEBRIALDI. R